Siapkah Bangsa Kita Memasuki Era Energi Nuklir ?
Dilema antara kebutuhan akan energi secara nasional untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan kekuatiran masyarakat akan bahaya nuklir membuat keputusan untuk memasuki era energi nuklir di Indonesia selalu mendapat tantangan. Dalam analisis ini diuraikan isu penting yang berkaitan dengan keselamatan reaktor, pengelolaan limbah, dan dampak radiasi terhadap lingkungan dengan tujuan agar masyarakat awam dapat memahami isu-isu tersebut dengan baik dan mempertimbangkannya secara benar dalam rangka mendukung penyediaan energi nasional yang berkelanjutan.
Krisis Energi Kegiatan pembangunan di Indonesia mengarah kepada industrialisasi, sehingga energi menjadi isu utama dan penting dalam kerangka menunjang model pembangunan tersebut. Krisis energi, terutama listrik, yang pernah terjadi menjelang akhir abad ke-20 mengisyaratkan bahwa suplai energi listrik tidak dapat mengimbangi tingginya laju permintaan. Pertumbuhan konsumsi energi listrik sebesar 15%per tahun cukup menakjubkan di mana hal ini juga setara dengan tingkat pertumbuhan energi total secara umum, yang mencapai di atas 8% per tahun pada kurun 1965-1980 - yang mana hal ini jauh di atas tingkat pertumbuhan energi negara industri sebesar 3% per tahun. Seiring dengan meningkatnya konsumsi energi adalah meningkatnya permasalahan lingkungan hidup, mulai dari produksi energi (pertambangan dan proses pembuatan energi primer), transportasi (penyaluran) energi primer, produksi dan transmisi, serta distribusi energi sekunder (listrik). Pada area pertambangan sumber energi fosil (seperti minyak bumi, batubara dan gas alam) terjadi perubahan bentang alam dan dampak terhadap lingkungan hidup yang harus menjadi perhatian. Demikian pula halnya dengan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh beroperasinya pembangkit tenaga, baik tenaga gerak maupun tenaga Isitrik. Dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir, skenario "export-import" dan pertumbuhan penduduk, maka tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional dapat mencapai 8,2% rata-rata per tahun. Pada tahun 2010, kebutuhan listrik untuk sektor industri akan naik sebesar 70%, untuk rumah tangga naik sebesar 16%, untuk fasilitas umum naik sebesar 5,5% dan untuk komersial naik sebesar 8,5%. Pasok listrik di Jawa dan Bali terakhir dalam kondisi siaga, dikarenakan cadangan operasi listriknya tinggal 395 MW. Padahal minimal cadangan operasi harus 600 MW, sehingga ada potensi pemadaman bergilir dilakukan. Kondisi ini merupakan indikasi terjadinya krisis energi. Sedangkan kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik, serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.
Kondisi ini diperparah oleh menyusutnya cadangan minyak bumi nasional, serta naiknya harga minyak dunia hingga mencapai 46 USD per barel. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat adalah kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak), serta kenaikan harga komoditas lainnya. Kegiatan pembangunan di Indonesia mengarah kepada industrialisasi, sehingga energi menjadi isu utama dan penting dalam kerangka menunjang model pembangunan tersebut. Krisis energi, terutama listrik, yang pernah terjadi menjelang akhir abad ke-20 mengisyaratkan bahwa suplai energi listrik tidak dapat mengimbangi tingginya laju permintaan. Pertumbuhan konsumsi energi listrik sebesar 15%pertahun cukup menakjubkan di mana hal ini juga setara dengan tingkat pertumbuhan energi total secara umum, yang mencapai di atas 8% per tahun pada kurun 1965-1980 - yang mana hal ini jauh di atas tingkat pertumbuhan energi negara industri sebesar 3% per tahun. Kejadian akibat krisis energi yang terjadi pada melonjaknya harga minyak bumi telah menyadarkan negara industri untuk membatasi penggunaan minyak bumi dan memunculkan isu yaitu bagaimana masa depan penyediaan energi dunia untuk waktu yang akan datang. Akibat hal tersebut telah menimbulkan pemikiran untuk mencari alternatif sumber energi seperti energi matahari, angin, biomassa, tenaga panas bumi, batubara, tenaga air, dan nuklir [Spurgeon, 1987]. Perhitungan yang sederhana terhadap penggunaan energi umumnya dilakukan dengan melihat harga yang termurah. Namun setelah munculnya kesadaran masyarakat dunia untuk suatu bentuk yang bersih lingkungan dan terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) maka faktor harga murah saja sudah tidak menjadi popular lagi. Akibat kerusakan yang ditimbulkan suatu kegiatan manusia sudah perlu diperhitungkan dan diperkirakan sebagai biaya [Hans Blix, 1990]. Penggunaan teknologi nuklir sebagai salah satu sumber energi bukanlah merupakan hal yang baru. Akan tetapi kejadian kecelakaan Three Mile Island di Amerika dan Chernobyl di Rusia telah menjadi titik balik bagi perkembangan teknologi nuklir untuk listrik. Beberapa negara mempertanyakan keandalan dan keamanan suatu instalasi pembangkit listrik nuklir, dan bukan hanya mempertanyakan tapi juga membuat kebijakan untuk mengurangi penggunaan teknologi nuklirnya. Permasalahan yang utama adalah apakah benar teknologi nuklir sudah sedemikian berbahayanya sehingga tidak layak dimanfaatkan untuk pembangkitan energi masa depan, khususnya di Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut, kami mencoba untuk dapat memberikan masukan tentang beberapa isu penting yang berkaitan dengan keputusan memasuki era pembangkit tenaga tenaga nuklir (PLTN) di masa depan, khususnya untuk wilayah Indonesia.
0 comments..........:
Posting Komentar